Beranda | Artikel
Apakah Imam Ahmad Musyrik?!
Selasa, 28 Januari 2020

Apakah imam Ahmad musyrik? Itulah yang menjadi pertanyaan dan topik pembahasan dari artikel berikut, dikarenakan adanya suatu riwayat dari Abdullah bin Ahmad, dimana dia berkata,

سمعت أبي يقول حججت خمس حجج منها ثنتين (راكبا) وثلاثة ماشيا او ثنتين ماشيا وثلاثة راكبا فضللت الطربق في حجة وكنت ماشبا فجعلت أقول يا عباد الله دلونا علي الطريق فلم أزل أقول ذلك حتي وقعت علي الطريق

“Aku mendengar ayahku (Ahmad Bin Hanbal) berkata, “Aku pergi haji lima kali, dua kali naik kendaraan dan tiga kali jalan kaki atau dua kali jalan kaki dan tiga kali naik kendaraan. Dalam salah satu perjalanan haji aku tersesat sementara aku sedang berjalan kaki, maka akupun berkata, “Duhai hamba Allah (malaikat), tunjukkanlah aku jalan”. Dan aku tidak berhenti mengucapkan hal itu sampai aku menemukan jalan.” [al-Masaa-il Imam Ahmad; Topik No. 912, hlm. 245].

Riwayat ini dijadikan sebagai alasan oleh sebagian orang untuk menuduh ahli sunnah bahwa mereka menganggap imam Ahmad telah musyrik dan kafir dikarenakan beristighatsah kepada selain Allah, dalam hal ini adalah malaikat. Apakah benar demikian?!

Untuk menjawab hal tersebut, kami menyampaikan beberapa poin sebagai berikut:

Pertama

Terdapat sejumlah riwayat dari Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini, di antaranya yaitu riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma secara marfu’ dengan redaksi,

إِنَّ لِلَّهِ مَلائِكَةً فِي الأَرْضِ سِوَى الْحَفَظَةِ ، يَكْتُبُونَ مَا سَقَطَ مِنْ وَرَقِ الشَّجَرِ ، فَإِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ عَرْجَةٌ بِأَرْضٍ فَلاةٍ فَلْيُنَادِ : أَعِينُوا عِبَادَ اللَّهِ

“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat di bumi ini, selain malaikat hafadzoh, yang bertugas mencatat dedaunan yang rontok; maka tatkala salah satu dari kalian tersesat di gurun, maka panggillah, “Tolonglah aku duhai hamba-hamba Allah.” [HR. Al-Bazzaar: 4922].

Al-Bazzar dalam Musnad-nya (11/181) mengatakan,

وَهَذَا الْكَلامُ لا نَعْلَمُهُ يُرْوَى عَن النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيه وَسَلَّم بِهَذَا اللَّفْظِ إلاَّ مِن هَذَا الْوَجْهِ بِهَذَا الإِسْنَادِ

“Kami idak mengetahui perkataan ini diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan redaksi di atas, kecuali dari tinjauan dengan sanad di atas.”

Syaikh Al-Albani rahimahullah menyampaikan bahwa apa yang dilakukan oleh imam Ahmad di atas adalah pengamalan riwayat Ibnu Abbas tersebut dan memang sejumlah ulama seperti al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menilai riwayat Ibnu Abbas tersebut berderajat hasan.

Namun, riwayat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu ini memiliki dua cacat, yaitu:

  • Riwayat ini berporos pada seorang rawi yang bernama Usamah bin Zaid al-Laitsi. Beliau termasuk rawi yang diperdebatkan statusnya oleh ulama jarh wa ta’dil. Sebagian ulama merekomendasikan, sebagian yang lain melemahkannya. Ringkasnya, terdapat perbincangan perihal kualitas hafalan dan dhabt beliau.

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan,

إن تدبرت حديثه ستعرف النكرة فيها

“Apabila engkau meneliti hadits yang diriwayatkannya (Usamah bin Zaid al-Laitsi), niscaya engkau akan mengenali kemungkaran ada di dalamnya.” [al-Kaamil fii Dhu’afaa as-Rijaal 2/76].

Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan,

صَدُوق يهم ، اخْتلف قَول يحيى الْقطَّان فِيهِ ، وَقَالَ أحْمَد: لَيْسَ بِشَيْء ، وَقَالَ النَّسَائِيّ : لَيْسَ بِالْقَوِيّ ، وَقَالَ ابْن عدي : لَيْسَ بِهِ بَأْس

“Beliau seorang rawi yang shaduq yahim (jujur tapi terkadang keliru meriwayatkan). Yahya al-Qathan memiliki penilaian yang berbeda-beda terhadap beliau. Sedangkan imam Ahmad mengatakan perihal beliau, “laisa bi-syai-in”; An-Nasaa-i mengatakan, “laisa bil qawiy”; Ibnu Adiy mengatakan, “laisa bihi ba’sun” [al-Mughni fii adh-Dhu’afaa 1/66].

Demikian juga al-Hafizh, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa beliau adalah rawi yang shaduq yahim sebagaimana disebutkan dalam Taqrib at-Tahdzib hlm. 98.

  • Para rawi yang meriwayatkan riwayat tersebut dari Usamah bin Zaid al-Laitsi berbeda-beda dalam periwayatannya. Sebagian rawi meriwayatkannya secara marfu’ dan sebagian rawi yang lain meriwayatkannya secara mauquf.

Rawi yang meriwayatkan secara marfu adalah Hatim bin Isma’il, dan dia bersendirian (tafarrud) dalam hal ini. Al-Bazzar mencantumkan riwayatnya dalam Musnad al-Bazzar nomor 4922.

Periwayatan Hatim bin Isma’il dari Usamah bin Zaid al-Laitsi tersebut diselisihi oleh sejumlah rawi yang juga meriwayatkan dari Usamah, yaitu:

  1. Abdullah bin Rarukh, riwayatnya dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imaan 1/325.
  2. Rauh bin Ubadah, riwayatnya dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imaan 10/140.
  3. Ja’far bin Aun, riwayatnya dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imaan 10/140.
  4. Abu Khalid al-Ahmar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 6/91.

Keempat rawi di atas seluruhnya meriwayatkan dari Usamah bin Zaid al-Laitsi dan menyatakan bahwa riwayat di atas adalah perkataan Ibnu Abbas. Dengan demikian, jika kita menerimanya sebagai hujjah, riwayat tersebut lebih tepat berderajat mauquf dan merupakan perkataan Ibnu Abbas dan bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al-Baihaqi mengatakan,

هَذَا مَوْقُوفٌ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ ، مُسْتَعْمَلٌ عِنْدَ الصَّالِحِينَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لِوُجُودِ صِدْقِهِ عِنْدَهُمْ فِيمَا جَرَّبُوا

“Hadits ini mauquf, merupakan perkataan Ibnu Abbas; diamalkan oleh alim ulama yang shalih karena menurut pengalaman mereka hal itu benar adanya.” [al-Aadaab hlm. 269].

Kedua

Poin penting yang patut diperhatikan bahwa bentuk istighatsah yang bernilai kesyirikan adalah “meminta kepada selain Allah untuk melakukan sesuatu yang hanya mampu dilakukan Allah”. (ihat perincian hukum beristighatsah dengan meng-klik link berikut: Hukum Beristighatsah). Adapun beristighatsah kepada makhluk untuk melakukan sesuatu yang mampu dilakukannya merupakan hal yang diperbolehkan dan tidak termasuk kesyirikan. Hal inilah yang disampaikan dalam atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas di atas, dimana atsar tersebut menginformasikan bahwa terdapat sejumlah makhluk Allah berupa malaikat yang hidup dan ditempatkan Allah di permukaan bumi untuk menolong orang-orang yang tersesat agar menemukan kembali jalur yang tadi dijalani. Dengan demikian, setiap orang yang meminta pertolongan mereka (malaikat), telah meminta pertolongan kepada makhluk Allah untuk melakukan sesuatu yang mampu dilakukannya.

Ketiga

Apakah hal ini bisa dianalogikan dengan apa yang dilakukan oleh sebagian orang, dimana mereka beristighatsah kepada orang yang telah wafat atau orang yang hidup namun tidak berada di hadapan orang yang meminta pertolongan (gaib), agar disembuhkan penyakitnya, dihilangkan musibahnya, dimudahkan persalinan istrinya dan berbagai hal yang semisal?

Jawabannya tentu tidak, setidaknya karena dua alasan:

  1. Atsar tersebut jelas menginformasikan bahwa yang dimaksud adalah malaikat, bukan makhluk Allah yang lain seperti jin ataupun manusia.
  2. Permintaan tolong yang disebutkan tadi apabila dipanjatkan kepada orang-orang yang dimaksud, maka merupakan bentuk kesyirikan karena hanya mampu dilakukan oleh Allah ta’ala sehingga hal itu serupa dengan apa yang disebutkan Allah dalam firman-Nya,

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ. إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Mahamengetahui.” [Fathir: 13-14].

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَالِاسْتِغَاثَةُ : طَلَبُ الْغَوْثِ ، وَهُوَ إزَالَةُ الشِّدَّةِ ، كَالِاسْتِنْصَارِ طَلَبُ النَّصْرِ ، وَالِاسْتِعَانَةِ طَلَبُ الْعَوْنِ ، وَالْمَخْلُوقُ يُطْلَبُ مِنْهُ مِنْ هَذِهِ الْأُمُورِ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنْهَا ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: (وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ) ، وَكَمَا قَالَ: (فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ) ، وَكَمَا قَالَ تَعَالَى: (وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى (وَأَمَّا مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ إلَّا اللَّهُ ؛ فَلَا يُطْلَبُ إلَّا مِنْ اللَّهِ

“al-Istighatsah berarti thalab al-gauts, yaitu permintaan untuk menghilangkan kesulitan, seperti al-Istinshar yang berarti thalab an-nashr dan al-Isti’anah yang berarti thalab al-‘aun. Makhluk boleh dimintai pertolongan dalam semua bentuk tersebut, yaitu dalam perkara yang memang mampu dilakukan mereka. Hal ini seperti yang difirmankan Allah ta’ala,

وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ

“Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan.” [al-Anfal: 72].

Allah ta’ala juga berfirman,

فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ

“Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya.” [al-Qashash: 15].

Allah ta’ala befirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” [al-Maidah: 2].

Sedangkan dalam perkara yang hanya mampu dilakukan oleh Allah ta’ala, maka hanya boleh meminta tolong kepada Allah ta’ala.” [Majmu’ al-Fataawaa 1/103].

Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengatakan,

فَأَمَّا مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ إلَّا اللَّهُ تَعَالَى فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُطْلَبَ إلَّا مِنْ اللَّهِ سُبْحَانَهُ ، لَا يُطْلَبُ ذَلِكَ لَا مِنْ الْمَلَائِكَةِ ، وَلَا مِنْ الْأَنْبِيَاءِ ، وَلَا مِنْ غَيْرِهِمْ ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ لِغَيْرِ اللَّهِ: اغْفِرْ لِي ، وَاسْقِنَا الْغَيْثَ ، وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ، أَوْ اهْدِ قُلُوبَنَا ، وَنَحْوَ ذَلِكَ … فَأَمَّا مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ الْبَشَرُ فَلَيْسَ مِنْ هَذَا الْبَابِ

“Adapun perkara-perkara yang hanya mampu dilakukan oleh Allah, maka hanya boleh memintanya kepada Allah ta’ala semata. Bukan meminta kepada malaikat, para nabi dan selain mereka. Tidak boleh memohon kepada selain Allah misalnya dengan mengucapkan, “Ampunilah aku”; “Curahkanlah hujan kepada kami; “Tolonglah kami dari kejahatan orang-orang kafir”; “Tunjukilah hati kami”; dan permohonan yang semisal…adapun perkara-perkara yang mampu dilakukan manusia, maka tidak tercakup dalam topik ini.” [Majmu’ al-Fataawaa 1/329].

Beliau rahimahullah juga mengatakan,

وَقَدْ مَضَتْ السُّنَّةُ أَنَّ الْحَيَّ يُطْلَبُ مِنْهُ الدُّعَاءُ كَمَا يُطْلَبُ مِنْهُ سَائِرُ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ ، وَأَمَّا الْمَخْلُوقُ الْغَائِبُ وَالْمَيِّتُ ، فَلَا يُطْلَبُ مِنْهُ شَيْءٌ

“Sunnah telah menetapkan bahwa orang yang hidup boleh dimintai untuk mendo’akan sebagaimana boleh memintanya untuk melakukan apa yang mampu dilakukannya. Sedangkan makhluk yang gaib (tidak berada di hadapan pihak yang meminta) dan yang telah wafat, tidak dapat dimintai apa pun.” [Majmu’ al-Fataawaa 1/344].

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, setidaknya dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Riwayat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh al-Bazzar dalam Musnadnya berstatus mauquf dan merupakan perkataan Ibnu Abbas, bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Sebagian ulama mengamalkan kandungan atsar Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu tersebut, di antaranya adalah al-Imam Ahmad rahimahullah. Sebagaimana riwayat dari anaknya, Abdullah bin Ahmad.
  3. Tindakan al-Imam Ahmad tersebut bukanlah sebuah kesyirikan karena pada hakikatnya beliau meminta tolong kepada makhluk allah, yaitu malaikat yang memang ditugaskan Allah untuk menolong orang-orang yang tersesat dalam perjalanan.
  4. Tindakan al-imam Ahmad tersebut tidak bisa dianalogikan dengan bentuk-bentuk istighatsah yang kental dengan unsur kesyirikan yang kerap dilakukan oleh sebagian orang yang mengunjungi makam-makam orang yang dianggap wali kemudian beristighatsah di samping makam mereka, apalagi dianalogikan dengan meminta tolong pada jin penunggu laut, jin penjaga gunung, dan lain-lain. Sungguh menganalogikan keduanya berarti menganalogikan sesuatu yang tidak sama.

Demikian yang dapat dituliskan, semoga dapat bermanfaat bagi kaum muslimin. Wallahu ta’ala a’lam.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.


Artikel asli: https://muslim.or.id/54205-apakah-imam-ahmad-musyrik.html